1. PENDAHULUAN
Dalam perkembangan dunia filsafat
terutama dalam dunia filsafat ilmu hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan
berperan sekali terhadap mencari kebenaran tersebut di dalam suatu masalah pokok.
Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari pengetahuan
tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang terus dikaji
oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia
akan mengalami pertentangan batin yakni konflik spikologis.
Menurut para ahli filsafat,
kebenaran bertingkat-tingkat bahkan tingkatan tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain serta tingkatan kualitasnya
ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan
ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran
umum universal.
Manusia selalu dalam kehidupannya pasti
dirundung permasalahan besar maupun kecil itu mungkin sangat tidak menutup
kemungkinan dan mencari
kebenaran sejati karena manusia ingin melepaskan permasalahan tersebut, tetapi
bingung ingin mencari teori kebenaran karena banyak cara ditempuh untuk
memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran
rasional, lalu kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Memang
sesuatu sifat manusia yang selalu mecari kebenaran yang sebenarnya itu,
inti dari membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya. Suatu kebenaran tidak hanya membutuhkan
pengakuan dari salah satu orang atau sekelompok orang saja tetapi kebenaran itu
memiliki takaran-takaran atau ukuran-ukran kebenaran tersebut diantara lain
adalah berfikir merupakan suatu aktifitas manusia
untuk menemukan kebenaran serta apa yang disebut benar oleh seseorang belum
tentu benar bagi orang lain.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
Di akhir pendahuluan dalam penulisan makalah ini, penulis
mengangkat judul tentang permasalahan “kebenaran” karena permasalahan ini di
dalam filsafat ilmu sangatlah penting karena alasannya adalah selain sebagai
pelengkap dalam pembahasan di filsafat ilmu tetapi juga pembahasan kebanaran
ini bisa di implikasikan dalam kehidupannya sehari-hari terutama bagi penulis
maupun bagi pembaca makalah ini. Dalam makalah ini penulis memaparkan penulisan
yakni pengertian kebenaran dari secara bahasa maupun dari istilah dan juga
pengertian kebenaran menurut para ahli, serta tipologi teori kebenaran,
tokoh-tokoh pendukung teori kebenaran dan sebagainya.
2. PEMBAHASAN
Dalam pembahasan filsafat ilmu ada bagian pembahasan
tentang teori-teori kebenaran, seperti
teori kebenaran ini sangat penting bagi manusia. Kebenaran tidak ada yang
mutlak kecuali Allah yang mengetahui tetapi kebenaran hanya relatif saja bagi
manusia. Dalam pembahasan awal ini akan membahas tentang defini kebenaran
secara bahasa dan istilah, serta definisi kebenaran dari beberapa ahli dan
pakarnya masing-masing.
Definisi kebenaran menurut bahasa arab adalah al-haqq yang
memiliki pengertian yang tidak sia-sia, yang bermanfaat, yang berguna bagi
manusia. Sedangkan definisi kebenaran
menurut Al-Qur’an adalah pengabdian/penghambaan diri/penyembahan/peribadatan kepada
Alloh saja seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Muhammad saw “
. Inilah definisi kebenaran menurut bimbingan wahyu (Al-Qur’an).
Aristoteles mendefinisikan
kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui
dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya
apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya.[1] Dalam
kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran,
yaitu: 1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2.
Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. kejujuran,
ketulusan hati; 4. Selalu izin, perkenanan; 5. Jalan kebetulan. Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16)
yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang
diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
2.1 Tipologi
Teori-teori Kebenaran
Dalam
teori kebenaran maka ada tipologi teori kebenaran yang sudah di bahas oleh para
ahli filsuf, berikut adalah tipologi teori-teori kebenaran:
1. Teori Kebenaran Koherensi
Teori
kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsitensi. Pengertian
dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori
kebenaran yangØ
medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui kebenarannya. Sederhanya dari teori ini adalah pernyataan dianggap benar
apabila bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh teori koherensi ini adalah pelajaran matematika.
Menurutnya, matematika ialah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun atas bebeberpa
dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan
beberapa aksioma maka disusun suatu torema. Diatas torema maka dikembangkan
kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem
konsitensi. Tokoh kebenaran koherensi ini adalah Plato (427-347) dan
Aristoteles (384-322.SM) [2]
2.
Teori Kebenaran Korespodensi
Teori kebenaran ini memiliki tokoh yang bernama
Aristoteles, menurutnya sesuatu yang ada sebagai tidak ada, atau tidak ada
sebagai ada dan maksudnya adalah salah. Sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagian
ada dan yang tidak ada adalah benar. Muncul kebenaran sebagai persesuaian
antara apa yang dilakukan atau dipikirkan dengan kenyataan. Teori kebenaran korespodensi ini sangat penting sekali antara lain adalah:
a.
Teori ini sangat didukung oleh empirisme
Sangat menghargai pengamatan dan pengujian
empiris, teori ini lebih menekankan cara kerja pengetahuan aposterion.
b.
Teori ini menegaskan dualitas antara S dan O.
Pengenal dan yang dikenal.
c.
Teori ini menekankan bukti bagi kebenaran suatu
pengetahuan. Bukti ini bukannya hasil akal budi, atau hasil imajinasi akal
budi, tetapi apa yang disodorkan obyek melalui panca indera.[3]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, teori ini memiliki pengertian suatu pernyataan
jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan obyek
yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori korespodensi ini dipergunakan dalam
cara berpikir ilmiah. Penalaran teoretis berdasarkan logika deduktif jelas
mempergunakan teori ini.[4]
3.
Teori Kebenaran Performatif
Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John
Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa
“benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi
yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan
realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana
yang diungkapkan dalam pernyataan itu.[5].Sederhanya
teori kebenaran performatif adalah mereka melawan teori klasik bahwa benar dan
salah adalah ungkapan deskriptif jika suatu pernyatan benar kalau ia menerapkan
realitas.[6]
4. Teori Kebenaran Pragmatik
4. Teori Kebenaran Pragmatik
Pragmatik berasal dari kata Yunani yang berarti “action” dan
juga berarti “practice”. Tokoh dalam pragmatik
dikenal oleh tokoh charles Pierce, William James dan John Dewwey [7]
Pragmatik lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran dan
kenyataan pengalaman hidup di lapangan daripada prinsip-prinsip muluk yang
melayang di udara. Karena prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori,
kebijakan, pernyataan tidak cukup hanya berdasarkan logisnya dan bagusnya
rumusan-rumusan, tetapi berdasarkan dapat tidaknya dibuktikkan, dilaksanakan,
dan mendatangkan hasil. Menurut kaum pragmatik, otak berfungsi sebagai
pembimbing perilaku manusia. Kebenaran segala sesuatu di uji lewat dapat
tidaknya dilaksanakan dan direalisasikan untuk membawa dampak positif, kemajuan
manfaat. Sikap kaum pragmatik itu jelas ditentang oleh kaum teoretis dan kaum
intelektual. Namun, pada tergantung pragmatik baik secara umum maupun khusus di
bidang etis menyumbang sesuatu. Akan tetapi, sebagai aliran fislafat pragmatik
mengandung kelmahan-kelmahan. Pragmatik mempersempit kebenaran mrnjadi itu,
pragmatik menolak kebenaran yang tidak dapat langsung di praktekkan, padahal
banyak kebenaran yang tidak dapat langsung di praktekkan. Paham manusia
seutuhnya adalah contoh sederhana. Sebagai paham etis pragmatik menyatakan
bahwa yang baik adalah yang dapat di praktekkan, berdampak positif dan
bermanfaat. Berikut paham ini dijelaskan melalui beberapa penjelasan seperti
berikut, pertama ada kebaikan yang dilihat dari manfaatnya tak dapat
dimengerti. Kedua, kebaikan yang bila dilaksanakan malah mencelakakan. Ketiga,
antara kebaikan dan pelaksanaan tidak ada hubungan langsung untuk melaksanakan
kebaikan perlu dukungan situasi, kondisi, sarana dan prasarana, serta ada kemauan
dari perilakunya. Pragmatik sebagai aliran filsafat dan paham bukan tanpa
kelemahan akan tetapi, pandangannya untuk saat tertentu, situasi hidup, dan
keadaan masyarakat tertentu dapat menggelitik dan digunakan sebagai pertanyaan
kritis. [8]
Tokoh Pragmatik dan Pendapatnya
Di Amerika Serikat bernama
William James sebagai tokohnya, di Inggris bernama FC. Schiller, Charles S.
Pierce (1834-1914) dan George Herbert Mead (1863-1931). Pragmatik dalam
perkembangan mengalami perbedaabn kesimpulan walalaupun dari gagasan asal yang
sama. Ada 3 patokan yang di setujui aliran pragmatik yaitu:
1. Menolak
segala intelektualisme
2. Aktualisme
3. Meremehkan
logika formal
Tokoh pragmatik William James
(1842-1910), di dalam bukunya The Meaning of Truth, arti kebenaran, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari akal yang mengenal.
Pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Lalu tokoh selanjutnya
adalah John Dewey (1859-1952). Dewwey seorang pragmatis, mengikut sistemnya
disebut istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci filsafat instrumentalisme, filsafat
harus berpijak pada pengalaman menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara
aktif-krits. Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpangan-penyimpangan, dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara
utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dalam
penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi
di masa depan. [9]
Selanjutnya adalah
tokoh teori kebenaran pragmatik adalah Charles Pierce
(1839-1914), menurut Charles Pierce dalam penggunaan bahasa yang mengundang
arti logika, tidak cukup hanya dengan memberikan definisi tersebut harus memungkinkan kita berhubungan
langsung dalam pengalaman, dengan apa yang diartikan oleh kata-kata atau
definisi tersebut. Mendefinisikan istilah secara eksperimen adalah menggunakan
alat dimana kita dapat memadukan arti-arti tanpa membingungkan atau salah tafsir.
Apabila seseorang tidak mengerti suatu istilah, kita cukup dengan menjelaskan
kondisi eksperimental yang memberi arti terhadap istilah tersebut, sehingga
akan terdapat kesepakatan dan kemampuan mengerti secara universal. Tujuan pragmatik
perce adalah untuk mengatasi verbalisme yang menyangkut intelektual, dengan
cara merumuskan kriteria objektif untuk membeda-bedakan pengertian. [10]
Kriteria
Kebenaran Pragmatik
Kriteria ini dipergunakan untuk
ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu.
Secara historis maka pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu
tidak mungkin lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan
bersifat pragmatis.
Selama
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap
benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, di sebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan. [11]
5. Teori Kebenaran Proposisi
Proposisi merupakan kalimat logika yang mana
pernyataan tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai
benar atau salah. Ada yang mengartikan proposisi sebagai ekspresi verbal dari
putusan yang berisi pengakuan atau penginkaran sesuatu (predikat) terhadap
sesuatu yang lain (subjek) yang dapat dinilai benar atau salah.
Unsur-unsur
proposisi:
- Term subjek; hal
yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. Term subjek dalam
sebuah proposisi disebut subjek logis. Ada perbedaan antara subjek logis
dengan subjek dalam sebuah kalimat. Tentang subjek logis harus ada
penegasan/ pengingkaran sesuatu tentangnya.
- Term predikat;
isi pengakuan atau pengingkaran.
- Kopula;
menghubungkan term subjek dan term predikat,
Terdapat beberapa jenis proposisi, yakni:
a. Proposisi Berdasarkan Bentuknya,
Proposisi tunggal, merupakan
proposisi yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Misalnya, saya
makan; Andi bermain. Proposisi majemuk, merupakan proposisi yang terdiri atas
satu subjek dan lebih dari satu predikat.
b. Proposisi Berdasarkan Sifatnya,
Proposisi Kategorial, proposisi
yang hubungan subjek dan predikatnya tidak memerlukan syarat apapun. Misalnya,
semua orang akan mati; semua hewan membutuhkan makan. Proposisi Kondisional,
proposisi yang pada hubungan subjek dan predikatnya memerlukan syarat tertentu.
Misalnya, jika hari mendung maka akan turun hujan; jika Dina bangun kesiangan
maka akan terlambat masuk ke sekolah. Dalam proposisi kondisonal terbagi
menjadi dua macam, yakni: proposisi kondisional hipotesis dan proposisi
kondisional disjungtif atau mempunyai 2 pilihan alternatif.
c. Proposisi Berdasarkan Kualitasnya,
Proposisi Positif, atau
Afirmatif, merupakan proposisi yang predikatnya membenarkan subjek. Misal,
semua profesor adalah orang pintar. Proposisi Negatif, merupakan proposisi yang
predikatnya tidak mendukung/ membenarkan subjek.
d. Proposisi Berdasarkan Kuantitasnya,
Proposisi Umum (universal),
adalah proposisi dimana predikat mendukung atau mengingkari semua subjek.
Misalnya, semua mahasiswa harus mengerjakan tugas dari dosen. Proposisi Khusus
(partikular), adalah proposisi dimana pernyataan khusus mengiyakan yang
sebagian subjek merupakan bagian dari predikat. Misalnya, sebagian murid di SD
adalah anak orang kaya.
Menurut Selltiz,
et al., dalam Nazir (1988) dalam buku Metode Penelitian,
mengatakan bahwa proposisi yagn sudah mempunyai jangkauan cukup luas dan telah
didukung oleh data empiris dinamakan dalil (scientific law). Dengan
perkataan lain, dalil adalah singkatan dari suatu pengetahuan tentang hubungan
sifat-sifat tertentu, yang bentuknya lebih umum jika dibandingkan dengan
penemuan-penemuan empiris pada mana dalil tersebut didasarkan.[12]
6. Teori Kebenaran Struktural
Pardigmatik
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada
paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau
mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini
menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk
dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu
tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar.
Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat
sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki
suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.[13]
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.[13]
KESIMPULAN
Hakikat kebenaran sangat penting dan berperan
sekali terhadap mencari kebenaran tersebut di dalam suatu masalah pokok. Setiap
kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari
pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang
terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran
ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik spikologis.
Manusia selalu dalam kehidupannya pasti dirundung
permasalahan besar maupun kecil itu mungkin sangat tidak menutup kemungkinan dan mencari kebenaran sejati karena manusia ingin melepaskan
permasalahan tersebut, tetapi bingung ingin mencari teori kebenaran karena
banyak cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan
rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Memang sesuatu sifat manusia yang selalu mecari
kebenaran yang sebenarnya itu, inti dari membina dan menyempurnakannya
sejalan dengan kematangan kepribadiannya. Suatu
kebenaran tidak hanya membutuhkan pengakuan dari salah satu orang atau
sekelompok orang saja tetapi kebenaran itu memiliki takaran-takaran atau
ukuran-ukran kebenaran tersebut diantara lain adalah berfikir
merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran serta apa yang
disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Manusia selalu mencari
kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anon, Isme-isme Dalam Etika: dari A sampai Z, Jakarta
: Kanisius, 2008
Kebung, Konrad. Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka Raya, 2001.
Salam, Burhanuddin. Logika
Materil, Filsafat Ilmu Penegatahuan, Jakarta : Rineka Cipta, 2003
S. Praja, Johaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika,
Jakarta: Kencana, 2003
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta : Karya Uni Press, 1993.
DAFTAR PUSTAKA
SITUS
Anung, Mengenal Arti Sebuah Kata
Kebenaran, http://anung.sunan-ampel.ac.id/?p=409
Anon, Proposisi, Dalil, Teori dan Fakta, http://idtesis.com/proposisi-dalil-teori-dan-fakta
Ahmad
Farid Mubarok,Teori-teori Kebenaran:
Korespodensi, Koherensi, Pragmatik, Struktural,Pradigmatik, dan Peformatik, http://defaultride.wordpress.com/2010/06/28/teori-teori-kebenaran-korespondensi-koherensi-pragmatik-struktural-paradigmatik-dan-performatik/
Ilhamuddin, Teori Kebenaran Performatif, http://kuliahpsikologi.com/teori-kebenaran-performatif/
[1] Anung, Mengenal
Arti Sebuah Kata Kebenaran, http://anung.sunan-ampel.ac.id/?p=409
diakses tanggal 07 Januari 2012 jam 17:12
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Karya Uni Press, 1993) hal 57-59
[3] Konrad Kebung, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:Pustaka Raya, 2001) hal 149-151
[4]Jujun , loc.cit
[5] Ilhamuddin, Teori Kebenaran
Performatif, http://kuliahpsikologi.com/teori-kebenaran-performatif/
diakses tanggal 07 Januari 2012 jam 20:14
[6] Konrad Kebung, log.cit.
[7] Burhanuddin Salam, Logika Materil,
Filsafat Ilmu Penegatahuan, (Jakarta:Rineka Cipta, 2003) hal 201
[8] Anon, Isme-isme Dalam Etika,: dari A
sampai Z, (Jakarta:2008, Kanisius) hal 189-191
[9] Johaya. S. Praja, Aliran-aliran Filsafat
dan Etika, (Jakarta: 2003, Kencana) hal 172-173
[10] Burhanuddin, Op. Cit
[11] Jujun , op. cit
[12] Anon, Proposisi, Dalil, Teori dan Fakta,
http://idtesis.com/proposisi-dalil-teori-dan-fakta,
diakses tanggal 08 Januari 2012 jam 00:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar